Prosa Dia 30: Sungkem
Seluruh raga tertunduk. Malu tuk menyombongkan diri dari noda-noda terkutuk. Hanya secarik asa yang tetap menyelimuti kami dengan setia. Meski terkadang ia dipersalahkan.
Kami terlalu naif pada dunia ini. Memakan apapun yang terlintas setiap hari. Maka noda-noda itu terus menumpuk tumbuh subur laksana pupuk. Tapi kami terlanjur basah, basah oleh noda-noda. Mereka mengotori ilham ini, membuatnya lupa akan tempat berpijak.
Lalu, hari ini datang. Cahaya terang menyelimuti kami. Menjernihkan kembali kami yang tersesat. Kain-kain sutra menghangatkan kami, noda-noda di raga ini mendadak lenyap, sirna. Kami bisa melihat sebuah celah. Celah yang selama ini hilang dari hati kami dan ketika kami membuka mata, tubuh ini telah bersimpuh. Kedua tangan kami mengatup rapat penuh khidmat. Untaian air mata berlinang membasahi punggung tangan kami. Sebuah kata pengampunana dan maaf terlantun bagai nyanyian surgawi, indah dan tentram.
Kami telah kembali ke jalan-Nya. Kami telah fitri kembali.