Prosa Dia 35: Antara Ia dan Kapal yang nyaris karam


Ia bercerita padaku saat mentari tengah di ufuk barat. Kami sedang berada di taman kecil setengah tandus. Ia memulai ceritanya dengan suatu ketika. Wajahnya sesaat terlihat abstrak di terpa cahaya sore. Matanya sejenak berbinar dan aku bisa membacanya sebagai berkaca. Sorot matanya terlihat pasrah di terpa badai yang tengah di nahkodainya. Senyum dipaksakan untuk menghilangkan sakit terpahat di wajahnya yang lemah.

Ia bimbang. Sebagai nahkoda, ia hilang arah. Tersesat di laut mati. Kapalnya hamper karam. Semua awakknya pergi meninggalkannya. Namun ia mencoba untuk bertahan, selama mungkin, selama udara masih bisa masuk ke rongga paru-parunya dan selama kehangatan masih menyelimuti punggungnya.

Aku mendengarkan. Berusaha menjadi pendengar yang baik dan mengulurkan tali pencerah harapan padanya. Ku jawab semua pertanyaan-pertanyaan yang selama ini tertutup rapat jauh di lubuk hatinya yang bahkan tak terjamah oleh cahaya. Kau sebenarnya tidak butuh cahaya, tidak perlu awak kapal karena mereka sebenarnya telah ada disamping mu namun kau tak menyadarinya.

Ia hanya butuh sebuah kunci. Kunci tuk menentukan segalanya. Ia hanya butuh sebuah kepastian. Kepastian tuk menjalankan kembali mesin-mesin kapal, mengibarkan kembali layar-layarnya dan membuka kembali petanya yang selama ini tertutup oleh kebimbangannya.

Ia harus memastikannya sekarang bahwa ia tidak sendiri. Sebelum kapalnya tenggelam sepenuhnya di laut yang gelap dan dingin. Sebelum hatinya mati digerogoti hiu-hiu yang kelaparan. Ia juga harus memastikan sekarang bahwa keputusan terkadang berat, namun berdiam diri dalam ketidakpastian dan menunggu karam juga adalah kebodohan.
Bertahanlah kawan, kau adalah nahkoda dari kapalmu. Kau harus menyelamatkan kapalmu dan harus sampai di dermaga. Ku yakin kau tahu apa yang harus diperbuat.

Kau tak sendiri….
Kau tak sendiri..

Leave a Reply

Proudly powered by Blogger
Theme: Esquire by Matthew Buchanan.
Converted by LiteThemes.com.