Prosa Dia 54: Dia dan Kita

Lihatlah dia,
duduk dipinggir jalan dengan kulitnya yang hhitam legam terpanggang matahari dan asap-asap knalpot truk-truk maha-besar. Kedua kakinya dibalut dengan perban sekenanya dan sewajarnya. Tidakkah kita lihat betapa mirisnya dunia ini sementara kita hanya bisa duduk di dalam mobil ber-AC dan menontonnya dari dalam kaca berfilm tebal?

Lihatlah dia,
peluhnya mengalir deras, semakin menambah legam kulitnya yang sebenarnya tinggal sekian sentimeter dari tulangnya. Tahukah kita bahwa dia mungkin belum makan sejak kemarin sementara kita dengan lahapnya menyantap makanan siap saji yang sebenarnya mengandung berbagai zat kimia pembunuh manusia?

Lihatlah dia,
baju dan sarung kumal ia sandangkan di bahunya. Sesekali ia mengusap dahinya, sesekali pula ia mengibaskan topinya yang bertambal untuk sekedar menghalau terik. Tahukah kita, bahwa setiap keping logam yang kita lemparkan padanya sungguh sangat berarti bagi hidupnya besok, lusa dan seterusnya. Tahukah kita, bahwa setiap kali kursi roda itu bergerak untuk mengiba pada kita, adalah sebuah rizki yang harus dikejar untuk menghidupi dapur serta istri dan anak-anak yang tengah menunggu dirumah. Sementara kita hanya bisa meminta pada orang tua dengan membentak, marah-marah kepada bawahan karena kerja tidak maksimal, memeras uang rakyat hanya untuk membayar tiket pesawat eksklusif ke negeri seberang?

Tahukah kita, bahwa sebenarnya kita ini lebih iba bila dibandingkan dengan dia. Dia bisa menikmati hari walau sungguh sebuah perjuangan yang berat dan tak kunjung menemui titik usai, sementara kita yang selalu bahagia namun terjangkit berbagai penyakit kronis dan menguras pundi-pundi untuk bisa tertawa lagi di depan meja-meja penuh dengan makanan, sayangnya akhirnya kita harus meutup mata lebih cepat sebelum bisa menikmati hidangan.

Leave a Reply

Proudly powered by Blogger
Theme: Esquire by Matthew Buchanan.
Converted by LiteThemes.com.